Minggu, 11 November 2012


MEMAHAMI FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA,
SEBUAH CARA UNTUK MENANAMKAN NILAI  
KARAKTER KEPADA SISWA


BAB I
PENDAHULUAN

               Salah satu tujuan filsafat pendidikan adalah memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Sebagai pemberi inspirasi, filsafat pendidikan menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
            Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem pendidikan di seluruh dunia. Negara yang mengabaikan pendidikan matematika sebagai prioritas utama akan tertinggal dari kemajuan segala bidang dibandingkan negara yang memberikan tempat bagi matematika sebagai subjek yang sangat penting. Filsafat pengetahuan memiliki kedudukan yang tugasnya menyoroti gejala pengetahuan manusia berdasarkan sudut sebab musabab. Pokok-pokok bahasan apakah suatu pengetahuan itu benar dan tetap dan terpercaya, tidak berubah atau malah berubah-ubah terus, bergerak dan berkembang. Filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta hingga batas kemampuan logika manusia. Batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia.
              Di Indonesia, tujuan pendidikan nasional tercantum pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
          Dalam tujuan pendidikan nasional itu jelas tercantum nilai-nilai karakter yang harus ditanamkan sebagai bagian terintegrasi dalam pembelajaran. Termasuk di dalamnya, tentu saja dalam pembelajaran matematika. Namun demikian, banyak guru yang belum secara optimal menekankan nilai-nilai karakter tersebut kepada siswanya selama pembelajaran. Salah satu alasannya, guru tersebut belum memahami bagaimana pembentukan karakter bisa dilakukan dalam pembelajaran matematika.
            Pemahaman guru matematika mengenai filsafat pendidikan, khususnya filsafat pendidikan matematika diharapkan dapat membantu mereka dalam menemukan gagasan dalam penekanan nilai-nilai karakter kepada siswa dan selanjutnya melakukannya selama pembelajaran secara cermat dan kontinu.
             
   BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Sejarah Filsafat Pendidikan Masa Yunani Kuno
              Dalam sejarah filsafat, nama Socrates (470-399 SM) muncul sebagai pemikir besar yang gagasan-gagasan filosofisnya dan metode pengajarannya ditunjukan untuk mempengaruhi secara mendalam dan abadi terhadap teori dan praktik pendidikan diseluruh dunia Barat (Smith, 1986). Adapun prinsip-prinsip dasar pendidikan menurut Socrates adalah metode dialektis, yang direncanakan untuk mendorong seseorang belajar untuk berpikir secara cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya.
              Tujuan pendidikan yang benar menurut Socrates adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi (Smith, 1986). Dengan menggunakan metode mengajar yang dialektis, Socrates menunjukkan bahwa jawaban-jawaban terbaik atas pertanyaan moral adalah cita-cita yang melekat pada Ketuhanan, cinta pada umat manusia, keadilan, keberanian, pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan, hormat terhadap kebenaran, sikap yang tak berlebih-lebihan, kebaikan hati, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, dan segala kebajikan. Dalam pendidikan Socrates mengemukakan sistem atau cara berpikir yang bersifat induksi, yaitu menyimpan pengetahuan yang bersifat umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus.
              Selain Socrates, Plato juga berkontribusi besar dalam pembentukan filsafat pendidikan. Menurut Plato, di dalam negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus. Bahkan, pendidikan adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh negara. Pendidikan sebenarnya suatu tindakan pembebasan dari belengggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang balk dan apa yang jahat, dan juga akan menyadari apa patut dan apa yang tidak patut, dan yang paling dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (they shall be born again) (Rapar, 1988: 110).
              Aristoteles adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan dan intelektual terkemuka, mungkin sepanjang masa. Menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik, maka ia harus mendapatkan pendidikan. Aristoteles juga menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah. Pada tingkat pendidikan usia muda itu perlu ditanamkan kesadaran aturan-aturan moral. Menurut Aristoteles untuk memperoleh pengetahuan manusia harus lebih dari binatang-binatang lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati dan secara hati-hati menganalisa struktur-struktur, fungsi-fungsi organisms itu, dan segala yang ada dalam alam. Oleh karena itu prinsip pokok pendidikan menurut Aristoteles adalah pengumpulan serta penelitian fakta-fakta suatu belajar induktif, suatu pencarian yang obyektif akan kebenaran sebagai dasar dari semua ilmu pengetahuan. Ariestoteles berkata bahwa sebaiknya memberikan pendidikan yang baik bagi semua anak-anak.

2.2   Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
              Beberapa aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan antara lain idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan konstruktivisme. Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.
              Filsafat pendidikan merupakan salah satu penerapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” yang didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan filsafat pendidikan “konservatif” yang didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut terdiri atas aliran-aliran filsafat pendidikan, antara lain sebagai berikut.
1.     Filsafat Pendidikan Idealisme
        Aliran ini memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, dan bukan pula fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain adalah Plato, Elea dan Hegel, Imanuael Kant, David Hume, dan Al Ghazali.
2.     Filsafat Pendidikan Realisme
        Aliran ini merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualistis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, dan John Stuart Mill.
3.     Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Aliran ini dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah Charles Sandre Peirce, Wiliam James, John Dewey, dan Heracleitos.
4.     Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Aliran ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pada pilihan kreatif, subjektivitas pengalaman manusia, dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini antara lain adalah Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, dan Paul Tillich.
5.     Filsafat Pendidikan Progresivisme
        Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidaklah benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, dan Frederick C. Neff.
6.     Filsafat Pendidikan Esensialisme
        Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
7.     Filsafat Pendidikan Perenialisme
        Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah Robert Maynard Hutchins dan Ortimer Adler.
8.     Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme
     Aliran ini merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah Caroline Pratt, George Count, dan Harold Rugg.

2.3   Filsafat dalam Pendidikan Matematika
          Filsafat Ilmu Pendidikan Matematika adalah filsafat yang menelusuri dan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan matematika yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara, dan hasilnya. Selain itu, juga terhadap  hakikat ilmu yang berkaitan dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya, tanpa melupakan metodenya.
              Prof. Dr. Maman A. Djauhari, guru besar ITB, mengatakan bahwa “tanpa filsafat, pendidikan matematika menjadi lemah”. Hal ini merupakan akibat tidak diajarkannya filsafat atau latar belakang ilmu matematika. Dampaknya, siswa, bahkan mahasiswa, pandai mengerjakan soal, tetapi tidak bisa memberikan makna dari soal itu. Matematika hanya diartikan sebagai sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk diselesaikan atau dicari jawabannya. Karena tidak menyampaikan filsafat matematika, ke depan Indonesia masih tetap sebagai bangsa yang hanya sebagai pengguna ilmu, bukan penemu ilmu. ”Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena memang pola pendidikan kita mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tidak diposisikan sebagai orang yang disiapkan untuk menjadi penemu ilmu. Siswa dan mahasiswa lebih diposisikan sebagai pengguna ilmu. Akibatnya, sering ditemui siswa atau mahasiswa tidak mampu memberikan penjelasan atau interpretasi terhadap sebuah soal dalam matematika. Misalnya, para siswa SMA dan mahasiswa akan dengan mudah dan dipastikan benar, manakala diminta untuk mengerjakan soal determinan sebuah matriks. Tapi ketika ditanya lebih lanjut apa makna dan pengertian dari determinan yang telah dikerjakannya itu, hampir dapat dipastikan, tidak ada yang mengerti. Inilah problem dasar pada pendidikan matematika kita di Indonesia. Siswa atau mahasiswa tidak dibiasakan untuk menginterpretasikan sebuah persoalan. Saat mengajar, para guru dan dosen diharapkan melengkapi dengan berbagai penjelasan dan latar belakang terhadap sebuah rumus yang telah diyakininya itu, sebagai sebuah pengetahuan filsafat.
             
2.3   Penanaman Nilai Karakter Melalui Filsafat Pendidikan Matematika
Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. John Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan.
Pendidikan partisipatif yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif, bukan hanya mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk. Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai fasilitator, sedangkan keaktifan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreativitas. Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik. Dengan keaktifannya ini, siswa dapat memperoleh nilai-nilai baik yang diperlukan. Misalnya, sopan santun dalam komunikasi, menghargai orang lain, jujur, serta bertanggung jawab.
Penanaman karakter ini dapat dilakukan dengan lebih baik oleh guru yang memiliki pemahaman filsafat pendidikan lebih dalam. Dengan memahami filsafat, khususnya filsafat pendidikan, guru dapat memahami cara berpikir serta karakter spesifik dari siswanya.

BAB III
SIMPULAN
             
              Dari pembahasan yang telah dikemukakan pada makalah ini, kiranya penulis dapat menyimpulkan hal-hal berikut ini.
1.     Karena beragamnya aliran filsafat, maka terdapat banyak juga aliran filsafat pendidikan. Masing-masing aliran memiliki ciri khasnya tersendiri dengan dukungan tokoh-tokoh tertentu.
2.  Tujuan pendidikan nasional menuntut terbentuknya nilai-nilai karakter pada siswa setelah proses pembelajaran. Untuk dapat menanamkan nilai-nilai karakter pada siswa, hendaknya guru memahami hakikat, latar belakang, dan tujuan dari subjek yang diajarkannya. Hal ini dapat dilakukan jika guru memahami filsafat pendidikan, khususnya filsafat pendidikan matematika.
3.   Dalam ruang lingkup yang lebih luas, pemahaman filsafat pendidikan matematika dapat memperkuat struktur pendidikan matematika itu sendiri. Dengan ini, pengajaran matematika tidak hanya memuat kumpulan pengetahuan, tetapi juga mengandung penjelasan di balik pengetahuan itu.


 DAFTAR PUSTAKA

Barnadib (1994). Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: IKIP.


Smith, S. (1986). Gagasan Tokoh-tokoh Bidang Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 


2 komentar:

  1. jangan main filsafat kebanyakan,maen hati sediki,lah.jangan mkir terus,bro.

    BalasHapus