TELAAH ALIRAN–ALIRAN FILSAFAT
DAN PERKEMBANGANNYA
Kata
filsafat diambil dari bahasa Arab, Falsafah,
yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia,
yang terdiri atas Philos (yang berarti
cinta atau suka) dan shopia (yang berarti
bijaksana). Jadi, secara etimologis, filsafat berarti cinta kebijaksanaan
(Poedjawijatna, 1974:1 dalam Tafsir, 2012:9). Sedangkan secara terminologis, filsafat
memiliki arti dan batasan yang beragam. Berikut beberapa di antaranya.
§
Plato
(427–347 SM), seorang filsuf Yunani, mengatakan bahwa filsafat adalah
pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai
kebenaran yang abadi.
§
Aristoteles
(381–322 SM), merupakan murid Plato, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang
meliputi kebenaran dan mengandung ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika.
§
Marcus
Tullius Cicero (106–43 SM), seorang politikus Romawi, merumuskan filsafat
sebagai pengetahuan tentang suatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk
mencapainya.
§
Al-Farabi,
seorang filsuf Muslim, menyebut filsafat sebagai ilmu pengetahuan alam maujud
dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
§
Immanuel
Kant, mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan
yang meliputi empat persoalan, yakni:
(1) “Apakah yang dapat kita ketahui?”. yang
dijawab dengan metafisika.
(2) “Apakah yang boleh kita kerjakan?”, yang
dijawab dengan etika.
(3) “Sampai di manakah pengharapan kita”, yang
dijawab dengan agama.
(4) “Apakah manusia itu”, yang dijawab dengan
antropologi.
Dalam
perkembangannya, filsafat memiliki berbagai aliran yang berbeda-beda dari sisi
pemaknaan, sudut pandang, dan cara untuk melaksanakan konsepnya. Aliran ini
juga muncul berdasarkan kebutuhan atau sebagai respon terhadap aliran yang telah
ada. Masing-masing aliran memiliki tokoh yang menyumbangkan buah pikirannya
dalam membentuk warna dan karakter tiap aliran. Beberapa aliran filsafat yang
dikenal antara lain sebagaimana yang diuraikan berikut ini.
A. Rasionalisme
Aliran
filsafat rasionalisme berpandangan bahwa rasio
adalah sumber dari segala pengetahuan. Dalam rasio terdapat ide-ide dan
dengannya dapat dibangun ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar
rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah
utama, yakni substansi dan hubungan jiwa dan tubuh (K. Bertens, dalam Praja,
2010: 91).
Pelopor
aliran rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650), yang merupakan tokoh
utama filsafat abad modern. Menurut Descartes, agar filsafat dan ilmu
pengetahuan dapat diperbarui, diperlukan suatu metode yang baik. Descartes memulai metodenya dengan meragu-ragukan
segala pernyataan kecuali pada satu pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang
melakukan keragu-raguan. Ia menegaskan bahwa ia dapat saja meragukan segala
hal, namun satu hal yang tidak mungkin diragukanya adalah kegiatan
meragu-ragukan itu sendiri. Maka ia sampai pada kebenaran yang tidak
terbantahkan, yakni saya berpikir, maka
saya ada (cogito ergo sum). Pernyatan ini begitu kokoh dan
menyakinkan sehingga anggapan kaum skeptik (kaum ragu-ragu) yang paling ekstrim
pun tidak akan mampu menggoyahkannya. Cogito ergo sum ini oleh Descartes
diterima sebagai prinsip pertama dari filsafat.
Benih rasionalisme sebenarnya
sudah ada sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan
sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus
memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan
rasio. Para pemikir rasionalisme berpandangan
bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah membuang pikiran irasional
dengan rasional. Pandangan ini misalnya didukung oleh Descartes yang menyatakan
bahwa pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Tokoh lain,
Baruch Spinoza secara lebih berani bahkan mengatakan: “God exists only philosophically” (Calhoun, 2002 dalam Hatmanto,
2012).
Sumbangan rasionalisme terlihat
dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran
atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak
dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan
akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia
(Hatmanto, 2012).
Setelah
Descartes, tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan filsafat rasionalisme
antara lain sebagai berikut.
1. Nicolas
Malerbranche (1638-1775), berusaha mendamaikan filsafat Descartes dengan
tradisi pemikiran Kristiani, khususnya pemikiran Agustinus. Ia berpendapat
bahwa jiwa tidak dapat mempengaruhi tubuh dan sebaliknya.
2. De
Spinoza (1632-1677), menyebutkan hanya ada satu substansi yang meliputi dunia
dan manusia. Satu substansi itu memiliki tak terhingga banyaknya ciri.
3. Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716), seorang Jerman yang menyebutkan bahwa substansi
itu jumlahnya tak berhingga dan dinamakan monade yang diangga tertutup.
4. Christian
Wolff (1679-1754), menyadur filsafat Leibniz serta menyusunnya menjadi satu
sistem dengan banyak menggunakan sistem skolastik. Karenanya rasionalisme di
Jerman berkembang di semua universitas.
5. Blaise
Pascal (1623-1662), yang sepakat dengan Descartes dalam hal mementingkan ilmu
pasti tetapi tidak sepakat dalam hal menerima ilmu pasti tersebut sebagai suatu
model atau contoh. Menurutnya, manusia dianggap misteri dan lebih penting
daripada rasio adalah hati.
B. Empirisme
Aliran empirisme dibangun pada abad ke-17 yang muncul
setelah lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme bertolak belakang
dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme, pengetahuan bukan hanya
didasarkan pada rasio belaka. Empirisme merupakan paham yang menempatkan
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan.
Tokoh
penting dalam aliran empirisme antara lain Thomas Hobbes (1588-1679). Ia
menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha menerapkan konsep mekanik
dari alam fisika. Menurutnya, pengalaman merupakan awal segala pengenalan dan
pengenalan intelektual adalah penggabungan data-data inderawi. Karya utamanya
adalah Leviathan (1651) yang
mengekspresikan pandangannya mengenai alam, manusia, dan masyarakat.
Empirisme
merupakan sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu
pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu
pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji.
Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan
spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu,
dengan demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah. Para
ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David
Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme (Calhoun, 2002 dalam Hatmanto,
2012).
John Locke (1632-1704) memiliki
pandangan bahwa rasio manusia mula-mula harus dianggap lembaran kertas putih dan
seluruh isinya berasal dari pengalaman. George Berkeley (1665-1753) merupakan
seorang uskup yang berpendapat bahwa tidak ada substansi material, yang ada
hanyalah pengalaman dalam ruh. David Hume (1711-1776) dianggap puncak empirisme
karena dia menggunakan prinsip-prinsip empirisme dengan cara yang radikal.
Sumbangan utama dari aliran
empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah
untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang
mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks
perdebatan apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam
(Hatmanto, 2012).
C. Kritisisme
Pendirian aliran rasionalisme dan
empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio
merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme berpendirian
sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh utama Kritisisme
adalah Immanuel Kant (1724-1804 M) yang melahirkan Kantianisme. Immanuel Kant
berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang
dinamakan Kritisisme (aliran yang kritis). Untuk itulah, ia menulis tiga
bukunya yang disebut “kritik”, yaitu Kritik
der Reinen Vernunft Reason atau kritik atas rasio murni (1781),
Kritik der Practischen Vernunft, atau kritik atas rasio praktis (1788) dan
Kritik der Arteilskraft, atau kritik atas daya pertimbangan (1790). Menurut Kant,
syarat dasar segala ilmu pengetahuan adalah (1) bersifat umum dan mutlak, dan
(2) memberi pengetahuan yang baru.
Immanuel Kant
adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan aufklarung (pencerahan),
yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur
rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir berbagai temuan
dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam.
Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473-1543) di bidang ilmu astronomi
yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan
pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Menurut Kant,
pemikiran telah mencapai arahnya yang pasti di dalam ilmu pengetahuan
pasti-alam, seperti yang telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan pasti-alam itu telah
mengajarkan kita, bahwa perlu sekali kita terlebih dahulu secara kritis
meneliti pengenalan.
D. Idealisme
Idealisme
mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide, pikiran, dan akal (mind), atau jiwa (self), bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan akal
sebagai hal primer (utama) dibandingkan dengan materi. Hal ini berlawanan
dengan materialisme. Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang
berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami
secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan
eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya
pengalaman-pengalaman inderawi.
Filsuf idealis pertama yang
dikenal adalah Plato Ia berpandangan bahwa semua konsep eksis
terpisah dari entitas materinya. Ini dapat dikatakan sebagai sumber dari
pandangan idealisme radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis
demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan
materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi
gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya
berdasarkan materi dan fisik. (Hatmanto, 2012).
Tokoh idealisme yang penting
adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Tema filsafat Hegel adalah
ide mutlak. Ia juga amat mementingkan dialektika, yang baginya bukan hanya
metode tapi juga sistem.
E. Positivisme
Positivisme
adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang
positif, sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19.
Titik tolak pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang faktual dan yang
positif, sehingga metafisikanya ditolak. Positif berarti segala gejala dan segala yang tampak
seperti apa adanya, sebatas pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta
diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur sehingga dapat memberikan semacam
asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Positivisme berusaha menjelaskan
pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa
observasional, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya.
Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa
observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan
dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan
itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah
korespondensi.
Auguste Comte (1798-1857) adalah
tokoh aliran positivisme yang paling terkenal dan juga orang yang
mengenalkannya. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Cours de Philosophie Phositive, yang
merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan
merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam
tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika
dan dinamika. Statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala
sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala. Titik tolak ajaran Comte adalah
pendapatnya bahwa perkembangan manusia melalui tiga zaman, yakni zaman
teologis, metafisis, dan positif. Menurutnya, perkembangan menurut tiga zaman
ini merupakan hukum yang tetap. Kelanjutan ajaran Comte setelah tiga zaman
adalah altruisme, yang diartikan sebagai
penyerahan diri kepada keseluruhan masyarakat.
Kaum positivis percaya bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris
dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran
ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis
dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
F. Materialisme
Materialisme adalah salah satu
paham filsafat yang banyak dianut oleh para filsuf, seperti Demokritus, Thales,
Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi berada di atas
segala-galanya dan dihubungkan dengan teori atomistik yang berpendapat
bahwa benda tersusun dari sejumlah unsur. Ketika pertama muncul, paham tersebut
tidak mendapat banyak perhatian karena banyak ahli filsafat yang menganggap
bahwa paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar abad ke-19 paham
materialisme ini berkembang di Barat. Walaupun sudah banyak dianut, teori ini
masih banyak ditentang oleh para tokoh agama karena paham ini dianggap tidak
mengakui adanya Tuhan dan dianggap tidak dapat melukiskan kenyataan.
Namun, paham materialisme banyak
ditentang oleh para tokoh agama karena terang-terangan tidak mengakui Tuhan.
Seorang anti-materialisme bernama Friedrich Paulsen berkata “Kalau materialisme
itu benar, maka segala sesuatu di dunia ini akan dapat diterangkan, termasuk
bagaimana atom membentuk teori materialisme itu sendiri yaitu dapat berfikir
dan berfilfasaf”. Ternyata hal itu sama sekali tak dapat diterangkan oleh kaum
materialisme. Filsafat materialisme inilah yang mempengaruhi filosof alam dalam
menyelidiki asal-usul kejadian alam ini. Di antara filosof-filosof alam
tersebut adalah:
1. Thales (625-545 SM) berpendapat bahwa unsur
asal adalah air.
2. Anaximandros (610-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah apeiron,
yaitu unsur yang tak terbatas.
3. Anaximenes (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah
udara.
4. Heraklitos (540-475 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah api.
5. Demokritus (460-360 SM) berpendapat bahwa hakikat alam adalah
atom-atom yang amat banyak dan halus.
Tokoh penting lainnya dalam aliran
materialisme adalah Karl Marx (1818-1883) dengan pahamnya marxisme yang berdasarkan pada materialisme.
G. Pragmatisme
Pragmatisme
berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan atau perbuatan.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asalkan
hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi dan kebenaran
mistis bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa
akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme
adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan
kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian,
ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala
intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh
filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey. William James
(1842-1910 M) lahir
di New York. Karya-karyanya
antara lain, Tha Principles of Psychology
(1890), Thee Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience
(1902), dan Pragmatism (1907). Di
dalam bukunya The Meaning of Truth (Arti
Kebenaran), James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku
umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal
yang mengenal.
Sekalipun
bekerja terlepas dari William James, tetapi John Dewey (1859-1952) menghasilkan
pemikiran yang mirip dengan gagasan James. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk
memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia
serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi. Sebagai pengikut
pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Dewey
lebih suka menyebut sistemnya dengan instrumentalisme. Pengalaman adalah salah
satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus
berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian,
filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Zainal. (2011). Filsafat Manusia,
Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Rosda.
Hatmanto,
Endro Dwi & JatiSuryanto. (2010). Aliran-Aliran
Filsafat Ilmu, Macam-Macam Aliran Filsafat Ilmu. http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87. Diakses
tanggal 28 September 2012.
Kattsoff,
Louis O. (2004). Pengantar Filsafat
(alih bahasa oleh Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Praja, Juhaya S., Prof. Dr. (2010). Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.
Suriasumantri,
Jujun S. (2007). Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir,
Ahmad, Prof. Dr. (2012). Filsafat Umum,
Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Rosda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar